Adab-Adab Minum dan Etika Makan
ADAB-ADAB MINUM DAN ETIKA MAKAN
Mengutamakan minum dengan cara duduk, dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghardik seorang yang minum dengan cara berdiri[1], namun dibolehkan minum secara berdiri berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa dia memberi minum kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari air zam-zam, lalu beliau meminumnya, sementara beliau tetap berdiri.[2]
Dimakruhkan bernafas dan meniup di dalam bejana (tempat minum)
:إِذَا شَـرِبَ أَحَـدُكُمْ فَلاَ يَتَـنَفَّـسُ فِي اْلإِنَاءِ
“Apabila salah seorang di antara kalian minum maka janganlah bernafas di dalam bejana…”.[3]
Dianjurkan bernafas (di luar bejana) tiga kali ketika seseorang sedang minum. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bernafas (di luar bejana) tiga kali saat minum, dan beliau menegaskan bahwa hal itu lebih mengenyangkan, memuaskan dan lezat”.[4] Dan dibolehkan minum dengan satu kali nafas, sebab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari seseorang yang sedang minum (dengan satu kali nafas), dan beliau berkata : Sesungguhnya aku tidak kenyang (minum) dengan satu kali nafas”.
Dilarang minum dari sebuah bejana yang pinggirnya terpecah, Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata bahwa dilarang minum dari bejana yang pinggirnya pecah.”[5]
Dianjurkan bagi seorang yang minum susu untuk berdo’a dengan do’a yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwa dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَكَلَ أَحَـدُكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْهِ وَأَطْعِمْنَا خَيْرًا مِنْهُ. وَإِذَا سُـقِيَ لَبَنًا فَلْيَقُلْ: اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْهِ وَزِدْنَا مِنْـهُ فَإِنَّهُ لَيْسَ شَيْئٌ يُجْـزِي مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّـرَابِ إِلاَّ اللَّبَنَ
“Apabila salah seorang di antara kalian memakan suatu makanan, maka hendaklah dia membaca:
اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْهِ وَأَطْعِمْنَا خَيْرًا مِنْهُ
(Ya Allah, berikanlah keberkahan bagi kami padanya dan berikanlah kepada kami makanan yang lebih baik darinya”.
Dan apabila beliau diberikan minum dari susu, maka beliau berdo’a:
اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْهِ وَزِدْنَا مِنْـهُ
(Ya Allah, berikanlah keberkahan bagi kami padanya dan tambahkanlah bagi kami darinya), sebab tidak ada makanan yang lengkap (kandunganya) selain susu”.[6]
Disunnahkan berkemumur setelah meminum susu, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumur setelah meminum susu dan mengingatkan: “Sebab dia mengandung lemak”[7] Abu Zakaria Al-Nawawi berkata : Para ulama berkata : Disunnahkan berkumur setelah memakan dan meminum selain susu, agar tidak meninggalkan sisa-sisa makanan yang bisa ditelan pada saat shalatnya, maka hendaklah dia membersihkan getah dan lemak makanan tersebut sehingga mulutnya menjadi bersih, demikianlah yang ditegaskannya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan suatu daging dan yang lainnya kemudian beliau mendirikan shalat tanpa berkemumur.[8]
Dimakruhkan minum dari wadah tempat air secara langsung, dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum dari mulut geriba (sejenis jerigen atau galon) atau dari bejana tempat air minum (secara langsung).[9]
Dianjurkan orang yang memberi minum adalah orang yang paling terkahir minum, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ سَاقِي الْقَوْمِ آخِرَهُمْ شُرْبًا
“Sesungguhnya orang yang memberi minum suatu kaum adalah orang yang paling terakhir menikmati minuman”.[10]
Dianjurkan berbicara saat makan, untuk menyelisihi kebiasaan orang-orang ajam.[11]
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang memuji makanan, seperti ucapan beliau saat bertanya lauk untuk makan, mereka menjawab: “Kita tidak punya apa-apa kecuali cuka, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintanya dan memakannya, kemuidan bersabda: “Lauk yang paling baik adalah cuka”.[12]
Apabila Lalat terjatuh pada makanan atau minuman, tuntunan yang dikerjakan adalah menenggelamkan lalat tersebut dalam bejana lalu membuangnya, seperti yang ditegaskan dalam hadits riwayat Abi Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لْيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءٌ وَفِي اْلأُخْرَى شِفَاءٌ
“Apabila seekor lalat terjatuh pada bejana salah seorang di antara kalian maka hendaklah dia menenggelamkannya seluruhnya, lalu barulah membuangnya, sebab dalam salah satu sayapnya adalah penyakit sementara pada sayap yang lain adalah obat”.[13]
Dianjurkan makan secara bersama (dalam satu piring), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
طَعَامُ اْلوَاحِدِ يَكْفِي اْلإِثْنَيْنِ وَطَعَامُ اْلإِثْنَيْنِ يَكْفِي اْلأَرْبَعَةَ وَطَعَامُ اْلأَرْبَعَةِ يَكْفِي ثَمَانِيَةً
“Makanan untuk seorang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk empat orang dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang”.[14]
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada orang yang makan namun tidak merasa kenyang dengan sebuah sabdanya:
فَلَعَلَّكُمْ تَتَّـفَـرَّقُـوْنَ قَالُـوا: نَعَـمْ قَالَ: فَاجْـتَمِعُوْا عَلىَ طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوْا اسمَ اللهِ عَلَيْهِ يُبَارَكُ لَكُمْ فِيْهِ
“Sepertinya kalian berpisah-pisah (saat makan)”, mereka menjawab: “Ya, benar” lalu beliau mengingatkan: “Berkumpullah saat makan kalian dan sebutlah nama Allah atasnya niscaya Allah akan memberikan keberkahan bagi kalian padanya”.[15]
Diharamkan duduk di hadapan hidangan minuman keras, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ يُـؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَـوْمِ اْلآخِـرِ فَلاَ يَقْـعُدْ عَلىَ مَائِدَةٍ يُشْـرَبُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia duduk di hadapan hidangan yang menyuguhkan minuman keras padanya”.[16]
Dimakruhkan mendahului kelompok (saat makan secara bersama), berdasarkan hadits riwayat Hudzaifah radhiallahu anhu, dia menceritakan bahwa saat kami makan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami tidak mendahului meletakkan tangan-tangan kami pada makanan sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang memulainya”.
Dianjurkan membersihkan gigi dengan menyeling-nyelingi (lubang dan antara sudut-sudut gigi). Ibnul Qoyyim berkata: “Menyeling-nyelingi gigi bermanfaat untuk menjaga kesehatan gigi dan gusi, dan kayu yang paling baik dijadikan sebagai tusuk pembersih gigi adalah kayu zaitun.
Disunnahkan menghabiskan sisa makanan yang ada pada piring atau nampan tempat makan.[17]
- Termasuk etika makan adalah tidak makan di jalanan.
- Termasuk etika makan adalah tidak melihat kepada wajah-wajah orang-orang yang sedang makan.
- Termasuk etika makan adalah tidak berbicara dengan sesuatu yang menjijikkan atau mengundang ketawa orang yang sedang makan.
- Termasuk etika makan tidak memuntahkan sesuatu yang telah ditelan ke dalam nampan tempat makanan, dan tidak pula mencium bau makanan.
Dianjurkan mengecilkan suapan dan mengunyah dengan baik.
Jabir berkata : Umar melihat sepotong daging pada tanganku, lalu dia bertanya : Apakah yang engkau bawa ini wahai Jabir? “Aku menginginkan sepotong daging lalu aku membelinya” Jawab Jabir menegaskan. “Apakah setiap sesuatu yang engkau kehendaki harus engkau beli wahai Jabir?” Tanya Umar menegur. Tidakkah engkau takut dengan firman Allah Ta’ala:
أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا
“Kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniamu saja”.[18]
Dan sebagian orang mengelompokkan beberapa prilaku dan sikap yang buruk terhadap makanan:
- Al-Mutasyawif, yaitu orang yang merasakan lapar sebelum makanan dihidangkan, engkau tidak melihat orang seperti ini kecuali dirinya memperhatikan pintu sambil mengawasi setiap barang yang masuk, jangan-jangan dia adalah makanan.
- Al-Rasyaaf, Yaitu orang yang sedang mengunyah suatu makanan pada mulutnya sampai menelannya habis, lalu suara saat menelan terdengar dihadapan teman-teman, semenatara dirinya asyik menikmati makanan.
- Al-Naffadh, yaitu orang yang mengunyah suatu makanan pada mulutnya sambil tangannya mengibas makanan.
- Al-Qossam, yaitu orang yang makan sebagian suapan lalu sebagian lainnya dikembalikan pada makanan.
- Al-Murannikh, Yaitu orang yang mencelupkan makanan pada sayuran, di mana dia tidak menelan makanan yang pertama sampai suapan yang kedua menjadi lembut.
- Al-Murasysyisy, yaitu orang yang mengambil daging ayam, sementara dia tidak berpengalaman padanya, akhirnya menjiprati teman-temanya.
- Al-Shabbag, yaitu orang yang memindahkan makanan dari suatu tempat ke tempat lain untuk mendinginkannya.
- Al-Munsyif, yaitu orang yang membersihkan tangannya dengan roti lalu dia memakan roti tersebut.
- Al-Naffakh, yaitu orang yang meniup makanan.
- Al-Muhandis, yaitu orang yang berkata kepada orang yang membuat makanan : letakkan ini di sini, ini di sini sehingga terkumpul di hadapannya apa-apa yang disukainya, didefinisikan juga dengan orang yang menggigit ujung makanan dengan giginya lalu mencampurnya dengan lauk
- Al-Khardaban, Yaitu orang yang menarik rotinya terlebih dahulu karena khawatir akan diambil oleh orang lain, dia meletakkannya di sebelah kirinya sementara tangan kanannya lahap meraih makanan lain.
- Al-Mu’allaq, yaitu orang yang masih menggenggam makanan pada tangannya sebelum mengunyah habis makanan yang di mulutnya dan matanya melirik-lirik pada makanan yang lain.[19]
Apabila seseorang diundang untuk menghadiri suatu walimah maka janganlah kehadirannya tersebut diniatkan untuk sekadar makan saja.
Memberikan buah yang pertama (pada awal musim buah-buahan) kepada orang yang paling kecil dari teman-teman yang menghadiri pertemuan, dalam shahih muslim dari hadits Abi Hurairah radhiallahu anhu, bahwa pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan buah pertama (musim buah-buahan) maka beliau berdo’a:
اَللّهُمَّ بَارِكْ لَناَ فِي مَدِيْنَتِنَا وَفِي ثِمَارِنَا وَفيِ مُدِّنَا وَفِي صَاعِنَا بَرَكَةً مَعَ بَرَكَةٍ
“Ya Allah berikanlah keberkahan pada kota-kota kami, pada buah-buahan kami, pada mud kami dan sho’ kami, keberkahan yang dibarengi keberkahan”.[20]
Kemudian beliau memberikan buah tersebut kepada seorang anak yang paling kecil yang menghadiri majlis beliau.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang roti yang dibuat dengan ukuran besar apakah hal tersebut dimakruhkan? Beliau rahimahullah menjawab: “Ya, sebab tidak ada keberkahan pada roti tersebut, keberkahan ada pada roti-roti yang dibuat dengan ukuran kecil, lalu dia menghimbau agar tidak membuat roti yang besar.[21]
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyenangi daging dan bagian daging yang paling beliau sukai adalah daging pada bagian hasta.[22]
[Disalin dari آداب الأكل والشرب Penulis Majid bin Su’ud al-‘Usyan, Penerjemah Muzaffar Sahidu, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1430]
______
Footnote
[1] Dari Anas radhiallahu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang minum secara berdiri. HR. Muslim no: 2024.
[2] HR. Bukhari no: 1637
[3] HR. Bukhari no: 5630, Al-Hafiz berkata di dalam kitabnya: Fathul Bari 10/80: Larangan tentang meniup di dalam bejana didasarkan pada beberapa hadits, begitu juga dengan larangan bernafas padanya, sebab bisa saja saat bernafasnya terjadi perubahan pada mulutnya karena pengaruh makanan atau karena jarang bersiwak dan berkumur, atau karena nafas tersebut naik bersama dengan gas yang terdapat di dalam lambung, dalam masalah ini meniup lebih keras dari sekedar bernafas.
[4] HR. Bukhari no: 45631.
[5] As-Silsilatus Shahihah no: 2689, dan adapun riwayat yang mengatakan: Sesungguhnya setan minum darinya” adalah riwayat yang lemah
[6] Dihasankan oleh Albani rahimhullah, Silsilatus Shahihah no: 232.
[7] Muttafaq Alaihi.
[8] Al-Adabus Syar’iyah 3/212.
[9] HR. Bukhari no: 5627.
[10] HR. Muslim no: 681.
[11] Lihat Ihya’ Ulumud Din, Al-Gazali 2/11.
[12] HR. Muslim no: 5202.
[13] HR. Bukharino: 5782
[14] HR. Muslim no: 2059.
[15] HR. Abu Dawud no: 3764 dan dishahihkan oleh Albani.
[16] HR. Ahmad no: 14241.
[17] Al-Adabus Syar’iyah no: 3/161.
[18] Al-Ahqof/46: 20.
[19] Diambil dari kitab: Adabul Akli Was Syurb Fil Fiqhil Islami, Hamid bin Muddah bin Humaidan Al-Jad’ani hal. 83.
[20] HR. Muslim no: 3322.
[21] Al-Mugni 13/354.
[22] HR. Bukhari no: 3340, dan Muslim no: 194.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/39217-adab-adab-minum-dan-etika-makan.html